Pesantren adalah sekolah demokrasi praktis yang sunyi, di mana Tradisi Musyawarah menjadi fondasi utama dalam pengambilan keputusan dan penyelesaian masalah sehari-hari. Tradisi Musyawarah adalah praktik diskusi untuk mencapai mufakat yang berakar kuat pada ajaran Islam dan nilai-nilai kearifan lokal. Di pesantren, musyawarah tidak hanya diterapkan dalam forum resmi organisasi santri, tetapi juga dalam kehidupan komunal di asrama, mengajarkan santri Pelajaran Hidup tentang pentingnya mendengarkan, menghargai perbedaan pendapat (ikhtilaf), dan mengutamakan kepentingan bersama di atas kepentingan pribadi. Inilah cara pesantren membentuk Jiwa Kepemimpinan yang demokratis dan beretika.
Musyawarah Formal dalam Organisasi Santri
Inti dari Tradisi Musyawarah dipraktikkan melalui mekanisme organisasi santri, yang mengelola hampir seluruh aspek non-kurikuler pondok.
- Pengambilan Keputusan: Setiap kebijakan penting yang memengaruhi kehidupan santri (misalnya, penetapan jadwal khidmah, aturan jam malam, atau penyelenggaraan acara besar seperti Haflah Akhirussanah yang diadakan setiap bulan Syawal) harus melalui proses musyawarah yang melibatkan perwakilan santri dan pengurus senior.
- Kepemimpinan yang Melayani: Musyawarah memastikan bahwa pengurus organisasi tidak bertindak otoriter. Mereka harus mempresentasikan ide, menerima kritik, dan mengintegrasikan masukan dari komunitas. Hal ini melatih skill negosiasi dan kemampuan Santri Multitasking untuk mengelola agenda yang beragam dengan adil.
Pada rapat dewan pengurus pondok fiktif pada Selasa, 16 November 2024, Kepala Organisasi Santri fiktif, Sdr. Yusuf Ali, menekankan pentingnya tasamuh (toleransi) selama proses musyawarah agar setiap anggota merasa dihargai dan keputusan yang diambil memiliki Jaminan Ketaatan dari seluruh komunitas.
Pembelajaran Adab dalam Berdiskusi
Lebih dari sekadar mencapai mufakat, Tradisi Musyawarah adalah pelatihan intensif dalam Memahami Adab berdiskusi Islami. Santri diajarkan aturan-aturan ketat saat berinteraksi:
- Menghormati Senior: Meskipun diperbolehkan menyampaikan pendapat, santri junior harus melakukannya dengan bahasa yang sopan dan menghormati posisi Kyai atau pengurus senior.
- Fokus pada Masalah: Kritik harus ditujukan pada kebijakan atau masalah (mas’alah), bukan pada individu. Ini mengajarkan pemisahan antara urusan pribadi dan profesional.
- Menerima Keputusan: Setelah mufakat tercapai, semua pihak wajib mematuhi keputusan tersebut, meskipun berbeda dengan pandangan awalnya. Ini adalah Pelajaran Hidup krusial dalam etika berdemokrasi.
Aplikasi dalam Problem Solving Kolektif Harian
Penerapan musyawarah tidak terbatas pada forum formal; ia meresap ke dalam Problem Solving Kolektif sehari-hari di asrama.
Misalnya, jika terjadi perselisihan antarkamar mengenai waktu penggunaan peralatan tertentu (misalnya setrika pada sore hari menjelang pengajian), penyelesaiannya tidak melalui hukuman sepihak, melainkan melalui mediasi yang berakhir dengan kesepakatan tertulis antar kelompok yang berselisih. Proses ini melatih kemampuan santri untuk menjadi mediator dan menyelesaikan konflik secara damai, yang merupakan keahlian vital di tengah masyarakat yang beragam.
Dengan menjadikan musyawarah sebagai budaya, pesantren tidak hanya mencetak ahli agama, tetapi juga warga negara yang memahami dan menghargai proses demokrasi, siap memimpin dengan adab dan bertanggung jawab.
