Di tengah gempuran informasi dan literatur keagamaan modern, pondok pesantren tetap kokoh memegang peran sentral sebagai penjaga tradisi keilmuan Islam, terutama melalui penekanan pada kemampuan Menguasai Kitab Klasik atau yang lebih dikenal dengan Kitab Kuning. Menguasai Kitab Klasik adalah keterampilan inti yang membedakan lulusan pesantren, karena kitab-kitab ini merupakan warisan intelektual para ulama terdahulu dan fondasi ilmu syariat, mulai dari Fikih, Tafsir, Hadis, hingga Tasawuf. Strategi pengajaran yang intensif dan berkesinambungan ini memastikan bahwa santri tidak hanya hafal, tetapi mampu memahami teks asli berbahasa Arab secara mendalam (tafaqquh fiddin).
Strategi pesantren dalam memastikan santri Menguasai Kitab Klasik melibatkan perpaduan metode kuno dan disiplin modern, terintegrasi penuh dalam jadwal harian mereka:
- Metode Sorogan (Individual): Santri secara pribadi menyetor bacaan dan terjemahan Kitab Kuning kepada kiai atau ustadz. Metode one-on-one ini memungkinkan guru mengoreksi kesalahan i’rab (perubahan harakat akhir kata) dan terjemahan secara langsung, yang sangat penting dalam Menguasai Kitab Klasik karena kesalahan harakat dapat mengubah makna hukum. Sesi ini biasanya dilakukan di waktu istirahat atau setelah Shalat fardhu.
- Metode Bandongan (Kolektif): Kiai membacakan dan menerangkan satu per satu kalimat kitab di hadapan puluhan hingga ratusan santri. Santri akan mencatat penjelasan kiai, seringkali menggunakan aksara Pegon (Arab gundul dengan bahasa Jawa/Sunda/Melayu). Metode ini efisien untuk transfer ilmu dari sumber yang memiliki sanad keilmuan yang jelas.
- Konsistensi Waktu Belajar: Pengajian Kitab Kuning menjadi agenda wajib harian di luar jam sekolah formal, seringkali diadakan dua kali sehari, yaitu pada waktu setelah Shalat Subuh dan setelah Shalat Maghrib, dengan durasi masing-masing sesi sekitar 60 menit. Konsistensi ini adalah kunci untuk merampungkan puluhan kitab selama masa studi.
Penguasaan Kitab Kuning bukan hanya soal pengetahuan, tetapi juga soal adab dan sanad keilmuan. Santri diajarkan untuk menghormati dan memelihara kitab-kitab tersebut, serta menyadari bahwa ilmu yang mereka terima bersambung hingga para penulis kitab dan ulama salaf. Berdasarkan hasil penelitian yang dipublikasikan oleh Badan Litbang Kementerian Agama RI pada Juni 2024, metode Sorogan dan Bandongan terbukti menjadi faktor utama yang membuat lulusan pesantren mampu mengkaji literatur agama tanpa terjemahan. Dengan demikian, pesantren melalui tradisi Menguasai Kitab Klasik secara efektif memastikan kesinambungan dakwah dan tradisi keilmuan Islam di Indonesia.
