Hubungan antara Kyai/Ustadz dan santri adalah inti dari pendidikan pesantren. Namun, di balik keagungan tradisi, terdapat Dinamika Relasi Kuasa yang rentan disalahgunakan. Tinjauan kritis terhadap hubungan ini penting untuk mencegah kekerasan dan penyimpangan. Pengelolaan kekuasaan yang etis menjadi kunci untuk menjaga integritas dan keamanan institusi pesantren.
Membedah Posisi Sentral Kyai dan Ustadz
Kyai atau Ustadz memiliki posisi yang sangat dihormati, bahkan disucikan (sakral), oleh santri. Penghormatan ini menciptakan Dinamika Relasi Kuasa yang sangat timpang. Kekuasaan ini didasarkan pada ilmu, usia, dan kedudukan spiritual, menjadikan santri sangat patuh dan sulit untuk menolak.
Kepatuhan total ini, meski bertujuan baik untuk pendidikan, bisa menjadi celah berbahaya. Kekuasaan yang absolut rentan terhadap penyalahgunaan, baik dalam bentuk fisik, verbal, maupun emosional. Oleh karena itu, diperlukan mekanisme check and balance internal.
Penting bagi para pendidik untuk menyadari dan mengontrol kekuasaan yang mereka miliki. Asimetri otoritas harus diimbangi dengan kesadaran penuh akan tanggung jawab moral dan hukum untuk melindungi setiap santri. Integritas adalah fondasi kepemimpinan yang sejati.
Membangun Batasan Profesional yang Jelas
Untuk mencegah Kritis Kekerasan, pesantren harus tegas membangun batasan profesional yang jelas antara pengajar dan murid. Batasan ini mencakup kode etik perilaku, interaksi di ruang privat, dan metode disiplin yang diperbolehkan. Aturan ini harus dipublikasikan secara transparan.
Dinamika Relasi Kuasa yang sehat ditandai dengan komunikasi terbuka, di mana santri merasa nyaman berdialog tanpa rasa takut. Kyai dan Ustadz harus menjadi figur yang mengayomi, bukan menakutkan, mendorong santri untuk berani bersuara.
Penerapan sistem pengawasan internal, termasuk pengawas yang independen dan bukan bagian dari lingkaran internal Kyai, sangat diperlukan. Pengawas ini berfungsi menerima dan menindaklanjuti setiap laporan penyimpangan yang terjadi.
Transformasi Kultural dan Pendidikan Etika
Pencegahan kekerasan menuntut adanya transformasi kultural di pesantren. Iklim ramah yang mengutamakan dialog, empati, dan perlindungan anak harus menggantikan budaya yang membenarkan hukuman fisik atau intimidasi sebagai metode pendidikan.
Pendidikan etika profesional harus menjadi bagian wajib bagi setiap pengajar dan pengurus. Mereka harus memahami dampak psikologis kekerasan pada santri. Kesadaran ini adalah langkah awal untuk perubahan perilaku yang mendasar dan berkelanjutan.
Tinjauan kritis terhadap Dinamika Relasi Kuasa adalah langkah awal yang berani. Pesantren harus membuktikan bahwa tradisi dapat berjalan seiring dengan perlindungan santri. Menciptakan lingkungan aman adalah prioritas tertinggi.
