Ghibah, atau menggunjing, adalah salah satu dosa besar dalam Islam. Ia didefinisikan sebagai menyebutkan sesuatu yang tidak disukai oleh seseorang yang tidak hadir, meskipun itu adalah kebenaran. Allah SWT secara tegas melarang ghibah dalam Al-Qur’an, bahkan menyamakannya dengan memakan daging saudara sendiri yang sudah mati (QS. Al-Hujurat: 12).
Larangan ghibah bertujuan menjaga kehormatan, privasi, dan hubungan baik antar sesama Muslim. Ia dapat merusak persaudaraan, menimbulkan fitnah, dan menyebarkan kebencian. Oleh karena itu, umat Islam sangat ditekankan untuk menjauhi kebiasaan buruk ini dalam setiap kesempatan.
Namun, dalam kondisi tertentu dan dengan niat yang benar, Islam memberikan pengecualian terhadap larangan ghibah. Ada beberapa kasus di mana menyebutkan keburukan orang lain diperbolehkan demi kemaslahatan yang lebih besar dan bukan untuk menjatuhkan.
1. Mengadu Kezaliman (Mazhlum)
Seseorang yang dizalimi boleh menceritakan kezaliman yang menimpanya kepada pihak yang berwenang atau yang dapat menolongnya. Ini bukan ghibah, melainkan upaya mencari keadilan dan pertolongan.
2. Meminta Fatwa atau Nasihat
Jika seseorang membutuhkan fatwa atau nasihat syariat terkait masalah yang melibatkan orang lain, ia boleh menyebutkan perbuatan orang tersebut kepada mufti atau ulama. Tujuannya adalah mencari solusi hukum, bukan menggunjing.
3. Memperingatkan Bahaya (Tahdzir)
Ghibah diperbolehkan jika tujuannya adalah untuk memperingatkan kaum Muslimin dari kejahatan atau bahaya yang ditimbulkan oleh seseorang, misalnya penipu, pemalsu, atau orang yang menyebarkan bid’ah. Ini demi menjaga kemaslahatan umum.
4. Menceritakan Orang yang Fasik Secara Terang-terangan
Jika seseorang terang-terangan melakukan kefasikan atau kemaksiatan di depan umum tanpa rasa malu, maka boleh menyebutkan kefasikannya. Tujuannya adalah untuk memberikan peringatan dan menunjukkan bahwa perbuatannya tercela.
5. Untuk Mengenalkan Seseorang
Jika seseorang dikenal dengan ciri fisik atau julukan tertentu yang tidak bermaksud merendahkan, dan tanpa ciri itu ia tidak bisa dikenali, maka menyebutkannya diperbolehkan. Contoh: “Si Ahmad yang pincang itu…” jika memang demikian keadaannya.
6. Mengajukan Gugatan di Pengadilan
Dalam konteks hukum, menceritakan perbuatan seseorang di hadapan hakim atau pihak berwenang sebagai bagian dari proses pengadilan untuk mencari keadilan adalah hal yang diperbolehkan.
Penting untuk diingat bahwa pengecualian ini harus digunakan dengan sangat hati-hati, hanya dalam batas kebutuhan, dan dengan niat yang murni demi kemaslahatan, bukan karena dorongan kebencian atau ingin menjatuhkan. Hukum asal ghibah tetaplah haram.
